Rabu, 18 Mei 2011

Aktivis Dakwah Kampus, Aktivis Dakwah Keluarga

24/3/2011 | 20 Rabiuts Tsani 1432 H | Hits: 3.309
Oleh: adi putra

Dakwatuna.com –
Saya akan memulai notes ini dengan dua firman Allah dalam Kitab-Nya;

Hai orang-orang yang beriman peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu…” [At-Tahrim: 6]

Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat” [Asy-Syu'ara: 214]

Ikhwah fillah, mungkin banyak diantara kita yang punya aktivitas dakwah di kampus berasal dari keluarga yang sudah terkondisikan dalam menjalankan dan memahami islam dengan baik. Memiliki orangtua yang sudah mengarahkan aktivitas anaknya sejak baru bisa berjalan agar bisa melanjutkan perjuangan mereka, berdakwah. Tapi saya mungkin lebih banyak lagi di antara yang punya aktivitas dakwah di kampus saat ini berasal dari keluarga (maaf) mungkin belum terlalu baik dan komprehensif memahami islam, mungkin termasuk keluarga saya pribadi.

Ada sebuah fenomena yang saya khawatirkan terjadi, kondisi kontradiktif yang saya berharap itu tidak ada, baik pada diri saya pribadi atau pada diri ikhwah fillah semua, yaitu kita gesit dalam agenda dakwah di kampus, bersegera dalam memenuhi seruan dakwah di kampus, tapi kita lalai akan dakwah pada keluarga (kami mohon ampun pada Mu ya Allah). Kita begitu luar biasa dengan agenda dakwah di kampus, ikut pembinaan, aktivitas dari kelompok mentoring ke kelompok mentoring, tapi adik kakak kita bahkan membaca Al-Quran pun belum lancar, pun lagi diajak ikut pembinaan keislaman yang lebih intensif. Mungkin banyak di antara kita yang bisa tilawah setengah atau satu juz sehari, tapi mungkin jumlah segitu terlalu besar untuk selesai dalam sebulan oleh ayah, ibu dan adik-adik kita.

Ada juga mungkin di antara kita yang sering mengisi acara lintas fakultas,lintas kampus,lintas provinsi, bahkan lintas negara ,atau juga bahkan rela kurang tidur, kurang makan, tapi kita belum pernah mendakwahi keluarga kita. Naudzubillahi min dzalik!! Mungkin di sana ada adik dan kakak kita yang butuh bimbingan, mungkin di sana ada ayah-ibu kita butuh dipahamkan lebih baik lagi tentang Islam, atau ada anggota keluarga kita yang menunggu pembuktian “Nahnu Du’at Qabla Kulli Syai in” yang saban hari didengung-dengungkan.

Mungkin ada yang merasa lebih susah mengajak keluarga daripada mendakwahi teman-teman di kampus, apalagi dalam posisi sebagai “bawahan” dalam struktur hirarki kekeluargaan, tapi mau tidak mau, kita tidak bisa memilih untuk tidak berdakwah pada keluarga. Dan ternyata dakwah pada keluarga harus kita mulai dari sekarang! Setidaknya pesan itulah yang Allah sampaikan pada dua ayat Al-Quran di atas.

Susah?? Begitulah memang tabiat jalan para Nabi. Justru akan menjadi pertanyaan, seberapa optimal dakwah kita jika sejauh ini kita belum menemukan kesusahan dalam berdakwah. Banyak rintangan dan halangan mengahadang, dengan sebuah kemenangan besar dari Allah tentunya. Mungkin kita bisa sama-sama memulai segera setelah antum membaca notes ini dan Alhamdulillah bagi kawan-kawan yang sudah memulai.

Saya membuat notes ini, juga sebagai penyemangat bagi saya pribadi untuk lebih memperhatikan lagi dalam menjalankan dakwah pada keluarga. Karena tidak usah kita jauh-jauh bicara tatanan masyarakat madani, masyarakat islami dan Rabbani atau teriak hilir-mudik menegakkan kekhilafahan, jika keluarga sebagai salah satu pilar utama dari itu semua tidak pernah kita arahkan. Keluarga mungkin akan menjadi jalan pintas kita meraih surga Allah ketika tanggung jawab ini kita jalankan, tapi mungkin akan jadi jalan pintas menuju murka Allah juga ketika geliat dakwah kita tak pernah menyentuh keluarga.

Wallahu’alam bisshawab, semoga Allah menghimpun kita kembali bersama keluarga kita di Surga-Nya. Amiin Allahumma amiin

Cerita inspiratif

Apa yang paling dinanti seorang wanita yang baru saja menikah? Sudah pasti jawabannya adalah kehamilan. Seberapa jauh pun jalan yang harus ditempuh, seberat apa pun langkah yang mesti diayun, seberapa lama pun waktu yang kan dijalani, tak kenal menyerah demi mendapatkan satu kepastian dari seorang bidan; “positif”.

Meski berat, tak ada yang membuatnya mampu bertahan hidup kecuali benih dalam kandungannya. Menangis, tertawa, sedih dan bahagia tak berbeda baginya, karena ia lebih mementingkan apa yang dirasa si kecil di perutnya. Seringkali ia bertanya; menangiskah ia? Tertawakah ia? Sedih atau bahagiakah ia di dalam sana? Bahkan ketika waktunya tiba, tak ada yang mampu menandingi cinta yang pernah diberikannya, ketika mati pun akan dipertaruhkannya asalkan generasi penerusnya itu bisa terlahir ke dunia. Rasa sakit pun sirna sekejap mendengar tangisan pertama si buah hati, tak peduli darah dan keringat yang terus bercucuran. Detik itu, sebuah episode cinta baru saja berputar.

Tak ada yang lebih membanggakan untuk diperbincangkan selain anak-anak. Tak satu pun tema yang paling menarik untuk didiskusikan bersama rekan sekerja, teman sejawat, kerabat maupun keluarga, kecuali anak-anak. Si kecil baru saja berucap “Ma…” segera ia mengangkat telepon untuk mengabarkan ke semua yang ada di daftar telepon. Saat baru pertama berdiri, ia pun berteriak histeris, antara haru, bangga dan sedikit takut si kecil terjatuh dan luka. Hari pertama sekolah adalah saat pertama kali matanya menyaksikan langkah awal kesuksesannya. Meskipun di saat yang sama, pikirannya terus menerawang dan bibirnya tak lepas berdoa, berharap sang suami tak terhenti rezekinya. Agar langkah kaki kecil itu pun tak terhenti di tengah jalan.

“Demi anak”, “Untuk anak”, menjadi alasan utama ketika ia berada di pasar berbelanja keperluan si kecil. Saat ia berada di pesta seorang kerabat atau keluarga dan membungkus beberapa potong makanan dalam tissue. Ia selalu mengingat anaknya dalam setiap suapan nasinya, setiap gigitan kuenya, setiap kali hendak berbelanja baju untuknya. Tak jarang, ia urung membeli baju untuknya dan berganti mengambil baju untuk anak. Padahal, baru kemarin sore ia membeli baju si kecil. Meski pun, terkadang ia harus berhutang. Lagi-lagi atas satu alasan, demi anak.

Di saat pusing pikirannya mengatur keuangan yang serba terbatas, periksalah catatannya. Di kertas kecil itu tertulis: 1. Uang sekolah anak, 2. Beli susu anak, … nomor urut selanjutnya baru kebutuhan yang lain. Tapi jelas di situ, kebutuhan anak senantiasa menjadi prioritasnya. Bahkan, tak ada beras di rumah pun tak mengapa, asalkan susu si kecil tetap terbeli. Takkan dibiarkan si kecil menangis, apa pun akan dilakukan agar senyum dan tawa riangnya tetap terdengar.

Ia menjadi guru yang tak pernah digaji, menjadi pembantu yang tak pernah dibayar, menjadi pelayan yang sering terlupa dihargai, dan menjadi babby sitter yang paling setia. Sesekali ia menjelma menjadi puteri salju yang bernyanyi merdu menunggu suntingan sang pangeran. Keesokannya ia rela menjadi kuda yang meringkik, berlari mengejar dan menghalau musuh agar tak mengganggu. Atau ketika ia dengan lihainya menjadi seekor kelinci yang melompat-lompat mengelilingi kebun, mencari wortel untuk makan sehari-hari. Hanya tawa dan jerit lucu yang ingin didengarnya dari kisah-kisah yang tak pernah absen didongengkannya. Kantuk dan lelah tak lagi dihiraukan, walau harus menyamarkan suara menguapnya dengan auman harimau. Atau berpura-pura si nenek sihir terjatuh dan mati sekadar untuk bisa memejamkan mata barang sedetik. Namun, si kecil belum juga terpejam dan memintanya menceritakan dongeng ke sekian. Dalam kantuknya, ia terus pun mendongeng.

Tak ada yang dilakukannya di setiap pagi sebelum menyiapkan sarapan anak-anak yang akan berangkat ke kampus. Tak satu pun yang paling ditunggu kepulangannya selain suami dan anak-anak tercinta. Serta merta kalimat, “Sudah makan belum?” tak lupa terlontar saat baru saja memasuki rumah. Tak peduli meski si kecil yang dulu kerap ia timang dalam dekapannya itu sudah menjadi orang dewasa yang bisa membeli makan siangnya sendiri di kampus.

Hari ketika si anak yang telah dewasa itu mampu mengambil keputusan terpenting dalam hidupnya, untuk menentukan jalan hidup bersama pasangannya, siapa yang paling menangis? Siapa yang lebih dulu menitikkan air mata? Lihatlah sudut matanya, telah menjadi samudera air mata dalam sekejap. Langkah beratnya ikhlas mengantar buah hatinya ke kursi pelaminan. ia menangis melihat anaknya tersenyum bahagia dibalut gaun pengantin. Di saat itu, ia pun sadar buah hati yang bertahun-tahun menjadi kubangan curahan cintanya itu tak lagi hanya miliknya. Ada satu hati lagi yang tertambat, yang dalam harapnya ia berlirih, “Masihkah kau anakku?”

Saat senja tiba. Ketika keriput di tangan dan wajah mulai berbicara tentang usianya. Ia pun sadar, bahwa sebentar lagi masanya kan berakhir. Hanya satu pinta yang sering terucap dari bibirnya, “Bila ibu meninggal, ibu ingin anak-anak ibu yang memandikan. Ibu ingin dimandikan sambil dipangku kalian”. Tak hanya itu, imam shalat jenazah pun ia meminta dari salah satu anaknya. “Agar tak percuma ibu mendidik kalian menjadi anak yang shalih sejak kecil,” ujarnya.

Duh ibu, semoga saya bisa menjawab pintamu itu kelak. Bagaimana mungkin saya tak ingin memenuhi pinta itu? Sejak saya kecil ibu telah mengajarkan arti cinta sebenarnya. Ibulah madrasah cinta saya, sekolah yang hanya punya satu mata pelajaran: cinta. Sekolah yang hanya ada satu guru: pecinta. Sekolah yang semua murid-muridnya diberi satu nama: yang dicinta.**

Sumber: http://eramuslim.com/ar/oa/5c/22173,1,v.html